Korupsi sektor batu bara bukan hal baru di Indonesia, baik perihal pertambangan maupun industri penggunaanya semisal PLTU. Pada tahun 2001 proses divestasi saham PT Kaltim Prima Coal yang merupakan perusahaan dengan open pit terbesar di Indonesia berujung pada kasus korupsi. Mahkamah Agung (MA) menghukum Direktur Utama PT Kutai Timur Energi, Anung Nugroho selama 15 tahun dan Direktur Apidian Tri Wahyudi diganjar 12 tahun penjara. Keduanya dihukum dalam perkara korupsi divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Kasus ini juga melibatkan gubernur Kaltim Awang Faroek yang saat itu masih menjabat Bupati Kutai Timur. Perkara ini telah menimbulkan kerugian negara sbesar US$ 63 juta atau pada waktu itu setara dengan Rp 576 miliar dengan hilangnya hak membeli saham Pemda Kutai Timur dari PT KPC. Selain itu, kasus di industri penggunaan batubara telah menjerat politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Emir Moeis. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan. Emir terbukti menerima hadiah 357.000 dollar AS dari Alstom Power Inc AS dan Marubeni Inc Jepang terkait proyek PLTU Tarahan, Lampung, tahun 2004. Kasus-kasus ini sejalan dengan kesimpulan OECD pada laporan Foreign Bribery (2016) menyebutkan bahwa satu dari lima kasus penyuapan transnasional terjadi di sektor ekstraktif. Tindakan korupsi bisa berupa jual beli pengaruh, gangguan politik, konflik kepentingan, penyuapan pejabat publik dan swasta, gratifikasi dan tindakan ilegal lainnya. |